Salam Damai Sejahtera

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono,SS ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Sabtu, 15 Januari 2022

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu saling membutuhkan satu sama lain. Namun tidak bisa disangkal bahwa dalam perjumpaan manusia yang satu dengan manusia yang lain terjadi benturan yang disebabkan oleh perbedaan suku, agama, ras, kebudayaan, pandangan hidup dan lain-lainnya. Kenyataan ini juga yang mendorong banyak pihak atau kalangan untuk mengupayakan dialog demi terciptanya perdamaian.

Seorang pemikir sekaligus penggagas rumusan etika global yaitu Hans Kung pernah mengatakan:

Tidak akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama, tidak akan ada perdamaian agama tanpa adanya dialog antar agama, tidak akan ada dialog antara agama tanpa melacak nilai fundamental dari setiap agama

Pernyataan Hans Kung ini sesungguhnya masih relevan dengan keadaan dunia sekarang. Hal ini nyata ketika muncul kasus-kasus kekerasan antar kelompok umat bergama. Karena itu, dialog antara umat beragma dan kepercayaan di Indonesia sangat penting bahkan menjadi sebuah kebutuhan dalam hidup bermasyarakat.

Nilai-nilai fundamental setiap agama di Indonesia memang sebaiknya diajarkan kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat memahami dan menghargai keberagaman serta keberadaan agama lain. Oleh karena itu, dalam pelajaran pendidikan agama Katolik di sekolah tema-tema tentang agama lain juga diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Tujuannya agar para peserta didik mengenal, memahami, serta dapat bersikap positif terhadap agama-agama lain sehingga dapat bergaul tanpa ada perasaan curiga sekaligus membangun masyarakat yang damai dan sejahtera dan bebas dari kekerasan.

Ajaran Gereja Katolik tentang Dialog Antarumat Beragama

Gereja Katolik tentu memiliki cara dan ajaran bagaimana membangun dialog dengan umat beragama lainnya. Hal ini telah jelas dituangkan dalam dokumen konsili Vatikan II yakni Nostra Aetate terutama artikel 2. Berikut ini merupakan petikannya:

Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenartan dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.

Berdasarkan dokumen di atas, Gereja Katolik sama sekali tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain, bahkan dengan sikap hormat yang tulus gereja merenungkan cara-cara bertindak dan kaidah hidup dari agama lain meski dalam banyak hal berbeda namun tidak jarang memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.

Bentuk-bentuk Dialog yang Bisa dibangun

Ada pun bentuk-bentuk dialog yang mestinya dibangun antara lain sebagai berikut:
Dialog Kehidupan,
Kenyataan menunjukkan bahwa kita hidup berdampingan dengan umat beragama lain dalam satu lingkungan atau wilayah. Dalam pergaulan sudah pasti kita akan saling bertegur sapa dan saling mendukung, saling membantu satu sama lain. Hal ini dilakukan bukan saja demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan tetapi lebih dari itu juga merupakan tuntutan iman kita. Dari sini akan terjalin sebuah dialog kehidupan

 Dialog Karya,

Dalam hidup bersama dengan umat beragama lain kita diajak dan didorong untuk bekerja sama demi kepentingan bersama atau untuk kepentingan kelompok masyarakat yang lebih luas. Kita diajak untuk bekerja sama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan sosial karitatif atau kegiatan kemanusiaan. melalui kegiatan-kegiatan seperti ini kita akan lebih saling mengenal seklaigus menghargai satu sama lain.

Dialog Iman,
Walau kita berbeda agama, kita akan saling memperkaya. Karena sejujurnya ada banyak ajaran agama yang sama, ada juga kesamaan visi dan misi agama. Dan di atas segalanya kita mempunyai perjuangan yang sama dalam menghayati ajaran iman kita. Artinya, kita dapat saling belajar, saling meneguhkan dan saling memperkaya. Sebagai orang Katolik kita dapat memberikan kesaksian iman kita tentang bagaimana menghayati nilai-nilai Injil seperti cinta kasih, solidaritas, pengampunan, kejujuran, keadilan, perdamaian dan lain sebagainya.
LAIN KATA, 
Dalam membangun persaudaraan antarumat beragama dan berkepercayaan, membangun toleransi dan mengembangkan inklusifitas sangat diperlukan. Sikap toleransi harus mengarah kepada keberanian dan keterbukaan untuk memahami agama dan kepercayaan lain melalui dialog, bukan dengan memakai asumsi-asumsi subyektif.
Dialog berarti berbicara satu sama lain, bercakap-cakap dan bertukar pikiran. Dialog antarumat beragama amat penting namun peka sekali. Karena itu, dibutuhkan keterbukaan dan pengertian. Ada beberapa makna dan bentuk dialog:
(1) Dialog antarumat beragama dapat mendiring orang untuk lebih memahami agamanya secara tepat dan jernih
(2) Dialog antarumat beragama menuntut orang mendengarkan, mempertimbangkan dan mau menghormati pandangan pihak lain
(3) Dialog antarumat beragama bukan bermaksud mempertobatkan pihak lain ke dalam kepercayaan lain
Wujud dialog dapat terlihat seperti:
a) Dialog kehidupan: interaksi dengan anggota masyarakat agama lain dalam aneka kegiatan
b) Dialog formal: interaksi dengan orang dari agama lain dalam pertemuan atau rapat formal
c) Dialog teologis: interaksi dengan orang dari agama lain untuk menemukan kejelasan masalah keagamaan atau iman kepercayaan
d) Dialog doa: kegiatan doa bersama dengan orang dari agama lain
Keempat wujud dialog ini dapat dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan. Dialog hendaknya ditingkatkan dalam bentuk kerja sama nyata

1. Pengalaman Berdialog Antarumat Beragama

Dialog antarumat beragama masih merupakan pro dan kontra. Ada yang menerima, ada pula yang menolak.
Ada beberapa tujuan diadakannya dialog. Pertama, memberikan solusi terhadap persoalan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Kedua, menemukan kesamaan agar tumbuh kebersamaan.

2. Hambatan dalam Membangun Dialog Antarumat Beragama

Ada beberapa cara beragama dari umat beragama, yaitu
(a) Tradisional, yaitu cara beragama berdasarkan tradisi, kebiasaan nenek moyang atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Orang tradisional sulit menerima hal-hal baru terkait dengan keagamaannya
(b) Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya. Orang formal mudah mengubah cara beragama, bahkan agamanya, sejauh menguntungkan.
(c) Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio. Orang rasional berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan dan pengamalannya.
(d) Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati di bawah wahyu. Orang ini berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, pengamalan dan penyebaran.
Setiap agama punya dua kecenderungan, yaitu pertama yang bersifat tradisional, dogmatis, ritualistik, institusional dan legal. Agama dengan tipe ini merupakan agama statis. Kedua yang bersifat liberal, spiritual, modernis, moral, internal, individual dan manusiawi. Agama dengan tipe ini lahir dari kedalaman hati manusia, dan biasa disebut agama dinamis.
Beberapa aspek hambatan dalam mengadakan dialog antarumat beragama:
a) Aspek Tokoh Historis
  • (1) Fanatisme dan sovinisme pemeluk agama membuat mereka melihat tokoh yang satu lebih unggul dari yang lain
  • (2) Proses pembodohan dalam kaderisasi dan propaganda dari pemuka agama sehingga umat tidak memperoleh informasi yang benar dan utuh tentang tokoh historis dan ajarannya
b) Aspek Harta Milik
(1) Kekayaan terkadang dipakai untuk menindas orang miskin
(2) Kekayaan sering dipakai untuk provokasi agama dengan kekerasan
(3) Kekayaan sering diperlakukan sebagai status simbol
c) Aspek Pesan Universal
(1) Persepsi yang berbeda dari masing-masing agama dan pemuka agama (bahkan dalam satu agama yang sama) tentang pesan agamanya
(2) Ketertutupan dan eksklusivitas para pemeluk agama
d) Aspek Tujuan Hidup
(1) Solidaritas eksklusif
(2) Adanya persaingan tak sehat dalam mencapai tujuan hidup
(3) Matinya dialog dan komunikasi
e) Aspek Pandangan terhadap Kaum Miskin
(1) Adanya kesenjangan social
(2) Adanya budaya materialisme, konsumerisme, hedonisme bahkan darwinisme
(3) Pendiskreditan terhadap kaum miskin
f) Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci
(1) Beriman pada Tuhan yang sama, tapi perbedaan tradisi dibesar-besarkan
(2) Persaingan dalam pembangunan rumah ibadat dan pendukungnya
(3) Alergi membaca dan mempelajari Kitab Suci agama lain
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa faktor utama penghambat dialog adalah eksklusivisme. Hal ini ditunjukkan dengan sikap tradisional dimana umat lain menjadi sasaran untuk ditobatkan. Sikap ini ada hampir di semua agama, karena didasarkan pada ajaran tradisionalnya. Hal ini berdampak:
(a) Saling curiga dan memagari diri
(b) Saling mengintip strategi dan metode ekspansi
(c) Berkembangnya kelompok ekspansionis yang radikal dan intoleran
(d) Konflik dan perang saudara
Secara tidak langsung mau dikatakan untuk mewujudkan dialog sehingga terciptanya persaudaraan sejati, tiap-tiap agama harus berani menanggalkan sikap eksklusivisme, termasuk tradisional. Persoalan menjadi sulit dihadapi oleh agama-agama non katolik, seperti protestan dan islam, karena tidak punya garis komando.

3. Usaha Mengatasi Hambatan dalam Berdialog Antarumat Beragama

Secara sederhana, hambatan negatif-destruktif diubah ke arah yang positif dan konstruktif.
a) Aspek Tokoh Historis
(1) Tingkatkan dialog interaktif tentang visi misi tokoh historis
(2) Jujur memperkenalkan figure, visi misi tokoh historis
(3) Membangun sikap inklusif
b) Aspek Harta Milik
(1) Kekayaan dipakai untuk melayani orang miskin
(2) Mengagendakan “dakwah” dengan topic peranan harta bagi manusia
c) Aspek Pesan Universal
(1) Mengungkap nilai-nilai universal dalam ajaran agama
(2) Membangun komunikasi, formal dan informal, untuk menyatukan persepsi tentang pesan keselamatan universal
d) Aspek Tujuan Hidup
(1) Membuka dialog dan komunikasi yang manusiawi
(2) Membangun solidaritas yang inklusif
(3) Merintis kerjasama untuk mencapai tujuan hidup bersama
e) Aspek Pandangan terhadap Kaum Miskin
(1) Membina kerjasama dalam pengentasan kemiskinan
(2) Membuka dialog terbuka
f) Aspek Iman, Ibadat dan Kitab Suci
(1) Dialog untuk memahami tradisi dan dinamika hidup beriman umat lain
(2) Dialog dan kerjasana untuk studi Kitab Suci
Untuk membongkar eksklusivitas dan membangun inklusivitas, opsi berikut dapat dilakukan oleh umat kristiani:
(a) Sikap Inklusif
  1. Umat kristiani dapat mempertahankan keunikan Kristus tapi membedakan antara Kristus dengan agama Kristen. Karl Rahner berkata bahwa orang agama lain adalah orang “Kristen anonim”. Referensinya: Mat 7: 21; 12: 50; Luk 9: 49 – 50.
  2. Umat islam, seperti kelompok Paramadina, memahami orang muslim sebagai “orang yang berserah pada Tuhan” sehingga tak terbatas pada orang yang mengucapkan syahadat iman.
  3. Sikap inklusif mampu membedakan yang mutlak (Kitab Suci) dari yang relative (institusi), sehingga mampu bersikap positif terhadap agama lain tanpa merombak terlalu banyak warisan teologi.
  4. Sikap inklusif kurang memperhitungkan aspek relasi dan komunitas
(b) Sikap Pluralitas Indiferen
  1. Menerima dan menghormati agama lain sebagai sesame jalan menuju keselamatan. Orang Kristen menerima Yesus sebagai jalan keselamatan, dan menghormati al-quran sebagai jalan keselamatan bagi umat islam, Taurat bagi umat Yahudi, Buddha bagi kaum Buddhis, dsb. Referensinya adalah Rom 11: 25 – 36.
  2. Pluralisme indiferen bersikap sangat terbuka dan simpatik terhadap agama lain, menyadari kebesaran Allah di atas kebesaran agama, serta bersikap rendah hati, menyadari keterbatasan agama sendiri.
  3. Pluralisme indiferen cenderung melakukan generalisasi, kurang sensitif terhadap perbedaan visi, orientasi dan etika di antara agama-agama.
(c) Pluralisme Dialogis
  1. Pluralisme dialogis mengakui dan menghargai agama lain sebagai sesama untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya
  2. Pluralisme dialogis menegaskan keyakinan terhadap keunikan iman sendiri berdasarkan pengalaman pribadi maupun bersama
  3. Pluralisme dialogis mengakui kelemahan, dosa dan keterbatasan iman sendiri
Implikasinya adalah:
  1. Yakin punya keutamaan iman untuk dibagikan dan disaksikan
  2. Sadar bahwa kemampuan menyaksikan Injil punya kekurangan dan keterbatasan
  3. Bersaksi bukan untuk menaklukkan tapi untuk membagikan
  4. Bersaksi bukan menghakimi tapi membukakan kebenaran
  5. Bersaksi bukan tindakan satu arah, tetapi interaktif. Artinya siap juga menerima kesaksian pihak lain.
Untuk mendukung semua itu, kita dapat merujuk pada nasehat Kitab Suci, seperti Yoh 4: 21 – 24; Mat 8: 10 – 12; Luk 10: 25 – 37; 2Kor 4: 6 – 7; Gal 1: 6 – 10; Yak 4: 12.

4. Teladan Yesus dalam Membangun Dialog dengan Berbagai Pihak

  • Yesus mengasihi semua orang, baik yang memilih-Nya maupun tidak, sebab kasih itu tidak memilih apalagi mengecualikan orang lain. Yesus berkata, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang-orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5: 45) Kasih sejati adalah kasih yang memberikan nyawanya untuk sahabatnya. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15: 13).
  • Yesus menerima orang berdosa yang selalu dikucilkan. Yesus berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan dokter, tetapi orang sakit.” (Mrk 2: 17).
  • Yesus menerima orang yang hidup dalam kekerasan, bahkan menjanjikan hidup abadi. Ini dapat kita lihat ketika Yesus menerima perampok yang ikut disalibkan bersama Dia (Luk 23: 42 – 43). Kuncinya ada pada pertobatan.
  • Yesus menerima orang yang dipandang sangat hina. Salah satu contoh adalah ketika Yesus membiarkan diri-Nya disentuh wanita pendosa (Luk 7: 36 – 50).
  • Melalui perumpamaan anak yang hilang (Luk 15: 11 – 32) Yesus memberi pelajaran bahwa kesalahan seberat apa pun, kita harus menerima sebagai manusia dengan penuh kasih, seperti Allah sendiri. Penerimaan yang disertai sikap penuh kasih justru memungkinkan orang berdosa kembali ke jalan yang benar.
  • Yesus tidak menghakimi dan menjatuhkan hukuman. Misalnya ketika Yesus dihadapkan pada perempuan yang kedapatan berzinah (Yoh 8: 2 – 11). Yesus mau menegaskan bahwa Allah merindukan pertobatan bagi pendosa.
  • Yesus mengajarkan untuk menerima dan berbuat baik kepada siapa saja tanpa memandang latar belakangnya. Kisah orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25 – 37) menjadi rujukannya.

Sebenarnya masih banyak lagi teladan Yesus terkait dengan upaya membangun inklusivitas demi terwujudnya persaudaraan sejati. Semuanya ada dalam Kitab Suci.
Demikian konsep dan pemahaman tentang pandangan Gereja Katolik tentang dialog antarumat beragama dan kepercayaan lain. Semoga bisa menambah wawasan serta sanggup menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar